Page 1 of 14
MK Gelar Sidang Bahas Judicial Review UU Nomor 22 Tahun 2007
Jakarta, kpu.go.id-Permohonan Pengujian (Judicial Review) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum yang diajukan oleh Badan pengawas Pemilu (Bawaslu) hari ini (11/3) disidangkan oleh Mahlamah Konstitusi (MK). Agenda Sidang Pleno MK yang membahas Perkara Nomor 11/PUU-VIII/2010 adalah mendengarkan keterangan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Pemerintah, DPR dan saksi/ahli dari pemohon.
Selain dihadiri oleh Ketua Bawaslu Nur Hidayat Sardini sebagai pihak pemohon, sidang yang digelar di Ruang Sidang MK Lt. 1, Jakarta ini juga diikuti oleh KPU sebagai Pihak Terkait dan pemerintah yang diwakili oleh Abdul Wahid (Dirjen Perundang-Undangan), Cholilah (Dir. Litigasi Depkumham). KPU diwakili oleh Prof. Dr. Ir. H. Syamsulbahri, Msc, Dra. Andi Nurpati, M.Pd dan Dra. Endang Sulastri, M.Si. Saksi ahli yang hadir adalah Hadar Gumay, Saldi Isra dan Irmanputra Sidin.
Dalam keterangan yang dibacakan oleh Syamsulbahri, KPU sebagai Pihak Terkait menegaskan bahwa langkah-langkah yang diambil oleh KPU adalah berdasarkan pada peraturan perundangan yang berlaku. Dari kronologis persoalan panwas, badan pengawas hingga Dewan Kehormatan, KPU tetap berpedoman pada perangkat regulasi. “KPU adalah pelaksana undang-undang, dan tidak akan melanggar undang-undang,” tegasnya.
Anggota KPU lainnya, Andi Nurpati mengkritisi tidak adanya pengawas pada badan pengawas (Bawaslu). “Bagaimana jika lembaga pengawas melanggar undang-undang atau mengajak melanggar undang-undang, siapa yang akan mengawasi?” ungkapnya. Andi juga menegaskan bahwa KPU memiliki suatu badan pengawas internal, yakni Inspektorat KPU.
Dari pemaparan para ahli, ada beberapa poin yang dapat disimpulkan. Hadar Gumay mengatakan, bahwa lembaga pemgawas harus sejajar fungsi dan kedudukannya dengan penyelenggara pemilu (KPU) dan harus ada semacam badan pengawas internal (Dewan Kehormatan). Dari hasil studi komparasi yang dilakukan oleh Hadar di Philipina dan Thailand, ditemukan bahwa badan (lembaga) pengawas pemilu di sana ternyata lebih kuat kedudukannya dibandingkan di Indonesia. Dia juga menggarisbawahi bahwa polemik yang muncul terkait panwas bukanlah kesalahan KPU maupun Bawaslu. “Persoalannya karena terdapat kesalahan pada sistem (peraturan) yang kita miliki. Tetapi jangan sampai panwas dibentuk oleh DPRD, karena itu berarti sebuah kemunduran,” tandasnya.
Saldi Isra banyak menyoroti tentang sistem demokrasi di Indonesia. Menurutnya, penting untuk melakukan penataan kelembagaan negara serta konstitusi di Indonesia yang muaranya ada pada Mahkamah konstitusi. Dewan Kehormatan yang dibentuk harus diisi oleh pihak dari luar lembaga tersebut. "Dewan Kehormatan yang berisi mayoritas anggota lembaga yang bersangkutan hanya akan menghasilkan lembaga yang tidak kredibel, seperti jeruk makan jeruk, " ujarnya.
Pakar ilmu tata negara Arminputra Sidin berpendapat, dalam suatu konsep kelembagaan negara, adanya pengawas yang terkait dengan fungsi pengawasan merupakan sebuah kebutuhan primer --bukan sekunder seperti kebanyakan pendapat orang selama ini-- sehingga kedudukannya sejajar dengan lembaga penyelenggara, dalam hal ini KPU. “Persoalan antara KPU dan Bawaslu mengenai panwas pemilu (kada) sebenarnya lebih merupakan masalah sistem (sistemik), yakni masih belum sempurnanya payung hukum (peraturan perundangan) yang kita miliki,” terangnya.
Pada bagian akhir, Ketua MK Moh. Mahfud MD meminta kepada ketiga pihak (KPU, Bawaslu dan Pemerintah) untuk membuat kesimpulan dan diberikan kepada MK hari Kamis (12/3). "Paling lambat besok sudah diserahkan ke MK pukul 16.00, selanjutnya kami akan membuat keputusan berdasarkan kesimpulan tersebut dan akan dibacakan minggu depan,” ujar Mahfud. ***(dd/fs/red)
|